Penyakit Autisme : Penyebab, Gejala dan Pengobatannya

Penyakit Autisme : Penyebab, Gejala dan Pengobatannya

A.    Pengertian Autisme.
Autisme adalah kondisi otak yang mengalami gangguan perkembangan saraf. Kelainan ini dapat mengganggu bagaimana seseorang berkomunikasi dan bersosialisasi dengan orang lain. Penderita autisme atau disebut juga autism spectrum disorder (ASD) umumnya mengalami perilaku repetitif atau berulang. Kata spectrum pada ASD dimaksudkan pada luasnya gejala dan tingkat keparahan autisme, termasuk sindrom Asperger dan gangguan perkembangan pervasif yang sebelumnya dianggap terpisah. Umumnya autisme timbul pada masa anak-anak, yaitu usia 1 tahun. Tapi ada pula yang baru tampak pada usia 18-24 bulan, yang kemudian menimbulkan masalah dalam hubungan sosial dan lingkungan sekolah.
1.      Penyebab dan Faktor Risiko di Balik Autisme.
Penyebab autisme belum diketahui secara pasti hingga saat ini. Faktor genetika dan lingkungan merupakan 2 faktor yang diyakini dapat menyebabkan penyakit ini. Di samping itu, jenis kelamin, kelahiran prematur, serta usia orang tua yang lebih tua diduga berpotensi memengaruhi risiko autisme pada seseorang. Begitu juga dengan faktor keturunan dan adanya penyakit lain yang diderita.
2.      Autisme dan Vaksinasi.
Banyak yang memperdebatkan vaksinasi yang dapat menyebabkan autisme. Tapi belum ada penelitian yang dapat membuktikan bahwa vaksinasi dapat mengakibatkan autisme. Menghindarkan anak dari vaksinasi justru dapat menimbulkan risiko terkena penyakit menular yang berbahaya, seperti batuk rejan (pertusis), gondongan (mumps) dan campak (measles).
3.      Mencermati Gejala Autisme.
Autisme merupakan kondisi bawaan sejak lahir. Namun umumnya gejala autis baru akan dikenali oleh orang tua atau pengasuh saat anak berusia 3 tahun. Sebagian orang tua kemungkinan akan melihat anaknya tidak suka dipeluk, tidak kunjung bisa bicara atau tidak berminat melakukan permainan tertentu. Cohtohnya, permainan ciluk ba. Sebagian anak dengan autisme dapat berbicara pada tahap yang sama dengan anak lain. Tetapi kemampuannya cenderung makin menurun. Sementara kemampuan mendengar dari anak autisme, seringkali membuat orang tua bingung. Mereka kerap tampak tidak mendengar atau mendengar samar-samar.
4.      Cara Mendiagnosis Autisme.
Diagnosis autisme terutama berkaitan dengan interaksi sosial dan komunikasi. Beberapa gejala lain kemungkinan tidak akan tampak sebelum adanya perubahan lingkungan. Dpntohnya, ketika anak mulai masuk sekolah. Jika tampak gejala-gejala autisme pada perkembangan anak, sebaiknya konsultasi dengan dokter, ahli kesehatan, atau pihak sekolah untuk memastikan sekaligus mencari tahu cara penanganan yang tepat.
5.      Penanganan Terhadap Autisme.
Hingga saat ini, belum ditemukan obat untuk mengatasi autisme. Namun, penanganan dini dapat membantu perkembangan anak-anak. Hanya sedikit anak-anak autisme yang benar-benar terisolasi dari lingkungan sekitar. Sebagian besar masih bisa diajak berkomunikasi. Fokus penanganan autisme adalah memaksimalkan kemampuan anak dengan mengurangi gejala autisme, sekaligus mendukung proses pembelajaran dan perkembangan secara keseluruhan. Penting untuk konsultasi dengan ahli dalam menciptakan strategi penanganan terbaik, contohnya melalui terapi perilaku, komunikasi, keluarga, edukasi, atau wicara.
B.     Gejala Autisme.
Autisme merupakan kondisi bawaan sejak lahir. Namun umumnya gejala autis baru akan dikenali oleh orang tua atau pengasuh saat anak berusia 3 tahun. Sebagian orang tua kemungkinan akan melihat anaknya tidak suka dipeluk, tidak kunjung bisa bicara atau tidak berminat melakukan permainan tertentu (seperti ci luk ba). Meski ada sebagian anak dengan autisme dapat berbicara pada tahap yang sama dengan anak lain, kemampuannya cenderung makin berkurang. Demikian pula dengan kemampuan mendengar dari anak autisme, yang seringkali membuat orang tua bingung. Mereka kerap tampak tidak mendengar atau hanya mendengar samar-samar.
Berikut beberapa gejala-gejala autisme lain yang dapat dikenali sejak dini :
1.      Tidak mampu melakukan interaksi sosial, seperti tidak menatap lawan bicara, sulit berteman, tidak berminat berbagi dengan orang lain, dan tidak memiliki empati dengan perasaan orang lain.
2.      Gangguan komunikasi, contohnya terlambat bicara, sulit memulai atau ikut serta dalam perbincangan, mengulang 1 kata atau kalimat terus menerus, serta sulit memahami pembicaraan orang lain.
3.      Minat yang terbatas, misalnya hanya menyukai bagian tertentu dari mainan atau fokus pada 1 minat, merasa nyaman dengan rutinitas, serta memiliki perilaku tertentu seperti menggoyang tubuh atau mengepak - ngepak lengan (Hand Clapping).
C.    Penyebab Autisme.
1.      Penyebab Autisme.
Tidak diketahui penyebab pasti dari autisme. Kemungkinan penyebab autisme beragam dari faktor genetik dan lingkungan.
a.      Genetika.
Beberapa penyakit genetik diketahui berhubungan dengan autisme, termasuk Sindrom Rett dan Sindrom Fragile X. Beberapa jenis gen dan perubahan genetik juga bisa meningkatkan risiko autisme. Gen-gen tersebut dapat mempengaruhi perkembangan otak atau cara sel otak berkomunikasi. Perubahan genetik dapat diturunkan dari orang tua atau terjadi secara spontan pada anak.
b.      Lingkungan.
Para ahli masih mengamati berbagai faktor yang dapat meningkatkan risiko autisme, termasuk infeksi virus, obat, polusi udara atau komplikasi saat hamil yang dapat memicu autisme.
2.      Faktor Risiko Autisme.
Meski penyebabnya belum diketahui secara pasti, ada sejumlah faktor yang diketahui dapat meningkatkan kemungkinan autisme.
Faktor - faktor risiko tersebut meliputi :
a.      Jenis kelamin.
Dibandingkan anak perempuan, anak laki-laki memiliki risiko 4 kali lebih tinggi mengalami autisme.
b.      Lahir prematur.
Persalinan dengan usia kehamilan kurang dari 26 minggu dapat meningkatkan risiko autisme.
c.       Orang tua dengan usia lebih tua.
Ada kemungkinan anak yang dilahirkan dari orang tua dengan usia lebih tua memiliki risiko terkena autisme lebih tinggi. Namun, hal ini masih membutuhkan penelitian lebih lanjut.
d.      Riwayat keluarga.
Orang tua yang memiliki anak dengan autisme, berisiko lebih tinggi untuk kembali memiliki anak yang menderita autisme lagi. Demikian juga, jika ada orang tua atau kerabat yang mengalami gangguan sosial atau kemampuan komunikasi.
e.       Menderita penyakit lain.
Beberapa kondisi medis yang dialami anak dapat meningkatkan risiko autisme. Misalnya, Sindrom Rett dan pertumbuhan tumor jinak pada otak (tuberous sclerosis).
D.    Diagnosis Autisme.
Diagnosis autisme sangat berkaitan dengan interaksi sosial dan komunikasi. Beberapa gejala lain mungkin tidak akan tampak sebelum adanya perubahan lingkungan. Misalnya ketika anak mulai masuk sekolah. Jika tampak gejala-gejala autisme pada perkembangan anak, sebaiknya konsultasi dengan dokter, ahli kesehatan, atau pihak sekolah. Langkah ini berfungsi untuk memastikan sekaligus mencari tahu cara penanganan yang tepat.
E.     Pengobatan Autisme.
Fokus penanganan autisme adalah memaksimalkan kemampuan anak dengan mengurangi gejala autisme, sekaligus mendukung proses pembelajaran dan perkembangan secara keseluruhan. Tidak ada obat untuk autisme dan cara penanganannya berbeda pada masing-masing penderita. Penanganan sejak dini, terutama sebelum usia sekolah, dapat membantu anak untuk berkomunikasi dan memiliki perilaku yang baik. Ada kemungkinan penanganan atau terapi yang diperlukan anak dengan autisme berubah seiring dengan perkembangannya. Penting untuk berkonsultasi dengan para ahli dalam menciptakan strategi penanganan terbaik.
Berikut adalah beberapa penanganan atau terapi yang dapat direkomendasikan bagi pengidap autism :
1.      Terapi perilaku dan komunikasi.
Banyak program yang dilakukan dalam terapi perilaku dan komunikasi pada anak autisme. Tujuannya adalah memperbaiki kemampuan bahasa, sosial, dan perilaku. Sebagian program akan mengurangi masalah perilaku, sebagian lagi mengajarkan keterampilan baru atau melatih anak untuk berkomunikasi dengan lebih baik.
2.      Terapi keluarga.
Terapi ini melibatkan orang tua atau anggota keluarga lain untuk belajar berinteraksi atau bermain dengan anak autisme.
3.      Terapi edukasi.
Dengan program edukasi terstruktur yang dibuat khusus, banyak anak autisme yang dapat mengikuti dengan baik. Di kemudian hari, terapi ini bisa membantu meningkatkan kemampuan sosial, komunikasi, dan perilaku. Terapi edukasi yang diberikan sejak dini terbukti memberikan hasil yang baik.
4.      Terapi wicara, terapi okupasi, dan terapi lain.
Terapi wicara akan meningkatkan kemampuan komunikasi. sementara Terapi okupasi berguna untuk mengajarkan keterampilan sehari-hari. Kedua terapiini dapat dilakukan sesuai kebutuhan anak autisme. Terapi fisik juga bisa dilakukan untuk membantu gerakan dan keseimbangan tubuh.
5.      Obat - obatan.

Meski autisme tidak dapat diobati, ada beberapa jenis obat yang diketahui bisa membantu mengendalikan gejala autisme. Misalnya, obat yang diberikan pada anak autis yang hiperaktif atau obat antidepresan bagi penderita yang sering mengalami ketegangan berlebih. Selalu konsultasikan dengan dokter sebelum memberi obat atau suplemen pada anak autis. 

Comments

Popular posts from this blog

Toksikologi Lingkungan : Sejarah, Sumber, Jenis, dan Dampaknya

Manfaat Kunyit Hitam (Curcuma Aeruginosa)